A. Ontologi
Ontologi : hakikat apa yang dikaji, penyelidikan prinsip-prinsip realita. Menurut Syam (1988) ontologi kadang-kadang disamakan dengan metafisika. Sebelum menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu. Dalam berinteraksi dengan alam semesta, manusia melahirkan berbagai pertanyaan filosofis, di antaranya ; apakah sesungguhnya hakikat realita yang ada ini, apakah realita yang nampak ini suatu realitas materi saja, ataukah ada sesuatu dibalik realita itu, satu "rahasia" alam. Apakah wujud semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah hakikat semesta ini adalah perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme), ataukah lebih dari dua unsur (pluralisme).
Suatu realita sebagai suatu perwujudan, menampakkan diri sebagai satu "tubuh", satu eksistensi. Sesuatu itu mendukung satu perwujudan, yakni-keseluruhan sifatnya. Yang utama dari perwujudan itu adalah eksistensinya. Wujud atau adanya sesuatu itu adalah primer, sedangkan sifat-sifat yang lain seperti ukurannya, bentuknya, warnanya, beratnya dan sebagainya hanyalah sekunder.
Sebagai contoh, apakah sesungguhnya hakikat lantai dalam ruang belajar. Ada yang menjawab bahwa lantai itu bersifat datar, padat tetapi halus dengan warna tertentu. Apakah bahannya, pastilah lantai itu suatu substansi dengan kualitas materi. Inilah yang dimaksud bahwa lantai adalah suatu realitas yang kongkrit. Para ahli ilmu alam menjawab, bahwa lantai itu terbentuk dari molekul-molekul, yang terakhir atom-atom dan atom-atom tersebut terbentuk dari electron-elektron, proton-proton dan neutron-neutron dan semua itu tenaga listrik. Jadi lantai itu hakikatnya satu energi, tenaga listrik. Jadi hakikat lantai menurut orang biasa adalah realita dalam wujud lantai yang konkrit, sementara ahli ilmu alam memandang hakikat lantai dari sudut pengertiannya (abstrak) yaitu tenaga listrik, energy, namun keduanya bersifat realita.
Pandangan ontologi di atas juga menjadi hal utama dalam pendidikan Islam, sebab anak didik/peserta didik bergaul dengan dunia lingkungannya dan mempunyai dorongan kuat untuk mengerti sesuatu. Peserta didik Islam, baik di masyarakat maupun di sekolah selalu menghadapi realita, obyek pengalaman : benda mati, benda hidup. Bagaimana pandangan relegius mengenai makhluk hidup yang berakhir dengan kematian, bagaimana kehidupan dan kematian itu dapat dimengerti. Begitu pula realitas semesta, eksistensi manusia yang memiliki jasmani dan rohani, bahkan bagaimana sebenarnya eksistensi Tuhan Maha Pencipta.
Bukanlan kewajiban sekolah atau pendidik semata untuk membimbing peserta didik memahami dunia nyata, tetapi sekolah berkewajiban membina peserta didik tentang kebenaran yang berpangkal pada realita itu. Realita adalah sebagai tahapan pertama dan stimulus untuk menyelami kebenaran. Peserta didik didik wajib dibina potensi berpikir kritisnya guna mengerti kebenaran. Mereka harus mampu mengerti perubahan-perubahan dalam lingkungannya ; adat-istiadat, tata sosial dan pola-pola masyarakat, nilai moral dan hukum.
Dengan demikian, implikasi pandangan ontologi dalam dunia pendidikan Islam adalah bahwa dunia pengalaman manusia, termasuk peserta didik yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya dalam raga dan isinya dalam arti pengalaman sehari-hari, melainkan sebagai sesuatu yang tak terbatas, realitas fisik, spritual yang tetap dan yang berubah-ubah (dinamis)
B. Epistemologi
Epistimologi: Cara mendapatkan/hakikat pengetahuan, penyelidikan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Syam (1988) mengatakan, sejauh ini dunia pendidikan dianggap sebagai proses penyerahan kebudayaan umumnya, khususnya ilmu pengetahuan. Apakah sesungguhnya ilmu itu, dari mana sumbernya, bagai mana proses terjadinya dan sebagainya merupakan bidang garapan epistemologi. Jadi epistemologi suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, batas, validitas dan hakikat pengetahuan. Epistemologi memberikan kepercayaan dan jaminan kepada pendidik bahwa ia memberikan kebenaran kepada peserta didik.
Sebagai contoh, perkataan "tahu" yang mengandung pengertian-pengertian berbeda-beda, baik sumbernya maupun validitasnya :
1. Kau tak dapat menipu saya. Saya "tahu" siapa penipu dan siapa bukan penipu;
2. Tentu saya "tahu" ia menangis, karena saya melihatnya
3. Percayalah, saya "tahu" apa yang saya bicarakan, bukan kah konstitusi kita menyatakan demikian ;
4. Kami "tahu" bahwa jabatan itu safe, karena baru saja kami melewatinya dengan aman.
Masing-masing pernyataan di atas menyatakan wujud atau keadaan "tahu". Masing-masing contoh berdasarkan cara tahu dan alasan-alasan tahun yang berbeda. Contoh nomor (1), tahu berdasarkan pertimbangan yang bersifat pribadi. Apa yang dilihat dan ditafsirkannya sebagai penipu/tindak kriminil, mungkin sama-sekali tidak dimengerti oleh orang lain. Contoh nomor (2) tahu yang bersumber dari data observasi langsung. Ia percaya dan tahu apa yang ia sadari itu benar adanya, sebab kesadaran panca indranya menghayati realita demikian. Contoh nomor (3) tahu berdasarkan atas status/wewenang siapa yang menyatakan, juga sumber yang berwujud dokumen (Undang-Undang) ,tak mengharuskan adanya observasi langsung. Contoh nomor pada (4) tahu adalah/diperoleh dari produk pengalaman-pengalaman yang teruji seluruh penghayatan, bukan hanya kesan indra saja.
C. Aksiologi
Aksiologi : Nilai kegunaan ilmu, penyelidikan tentang prinsip-prinsip nilai. Brameld dalam Syom (1988) membagi nilai dalam aksiologi menjadi : 1). Moral conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu Ethika, 2). Esthetic expression, ekspresi keindahan, yang melahirkan Esthetika, dan 3). Socio-polical life, kehidupan sosio-politik, Yang melahirkan ilmu filsofat sosio-politik.
Masalah-masalah aksiologi di atas menjelaskan dengan keriteria atau prinsip tertentu, apakah yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia itu, apakah yang dimaksud indah dalam seni dan apakah yang benar dan diinginkan dalam organisasi social kemasyarakatan-kenegaraan.
Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan mengintegrasikan nilai tersebut dalam kehidupan manusia dAn membinakannya dalam kepribadian anak didik. Memang untuk menjelaskan apakah yang baik itu, benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk membina kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan.
Pendidikan harus memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan sejenisnya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika, estetika dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah tangga/keluarga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai yang tak mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan sebaliknya harus mendapat perhatian..
Selanjutnya untuk mengenal perkembangan pemikiran dunia filsafat
pendidikan, berikut dikemukakan beberapa aliran filsafat pendidikan, di
antaranya; Progressivisme, Esensialisme, Perennialisme dan
Rekonstruksionalisme.
A. Progressivisme
Progressivisme merupakan salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang dan sangat berpengaruh dalam abad XX. Pengaruh aliran ini terjadi di berbagai belahan dunia, terutama sangat dominan di Amerika Serikat. Pembaharuan pendidikan pada umumnya terdorong dari pandangan aliran ini.
Progressivisme selalu dihubungkan dengan pandangan hidup liberal "the liberal road to culture”. Maksud nya pandangan hidup yang mempunyai sifat; fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan dan tidak terikat doktrin tertentu), toleran dan terbuka serta ingin mengetahui dan menyelidiki demi pengembangan.
Progressivisme disebut sebagai naturalisme karena mempunyai pandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta, bukan kenyataan spritual dan supernatural. Progressivisme identik dengan experimentalism yang berarti aliran ini menyadari dan mempraktekkan experiment (percobaan ilmiah) sebagai alat utama untuk menguji kebenaran suatu teori dan suatu ilmu pengetahuan.
Pendidikan yang dikembangkan progressivisme selalu menekankan tumbuh dan berkembangnya pemikiran dan sikap mental baik dalam pemecahan masalah maupun kepercayaan diri sendiri bagi peserta didik. Menurut aliran ini, progres atau kemajuan menimbulkan perubahan dan perubahan menghasilkan pembaharuan. Kemajuan mengandung nilai yang dapat mendorong pencapaian tujuan, kemajuan nampak kalau tujuan telah tercapai. Nilai dari suatu tujuan tertentu dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan lainnya.
Progressivisme memiliki 2 (dua) sifat, yang diklasifikasikan menjadi sifat positif dan sifat negatif. Aliran ini mempercayai manusia sebagai subyek yang memiliki kemampuan menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya, mempunyai kemampuan untuk mengatasi/memecahkan masalah-masalah yang dapat mengancam manusia itu sendiri. Pendidikan dipandang mampu mengubah dan menyelamatkan manusia guna menyongsong masa depan. Tujuan Pendidikan selalu diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus dan bersifat progressif. Ini adalah sifat positif Progressivisme. Aliran ini kurang setuju adanya pendidikan bercorak otoritas dan dalam segala bentuknya seperti terdapat dalam agama, moral, politik dan etika. Ini adalah sifat negatif Progressivisme.
Meskipun aliran Progressivie berkembang pesat pada abad XX, namun pertaliannya dapat dilihat jauh ke belakang, yaitu zaman Yunani Kuno. Misalnya Hiraclitus (sekitar 544484 SM), Socratis (sekitar 469-399 SM), Protagoras (sekitar 480-410 SM). Heroclitus mengatakan sifat yang terutama dari realita adalah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, semua berubah-ubah kecuali asas perubahan itu sendiri. Socratis berusaha mempersatukan epistimologi dan oxiologi (teori pengetahuan dan teori nilai). Ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat di pelajari dengan kekuatan intelek dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan (perbuatan baik).Ia percaya bahwa manusia sanggup melakukan yang baik. Protagoras mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai (value) tidak bersifat mutlak, melainkan relatif, yaitu bergantung kepada waktu dan tempat Quhairin, dkk. 1995).
Pada abad XVI bermunculan tokoh-tokoh penyumbangan pengembangan pemikiran aliran Progressivisme seperti ; Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant dan Hegel. Francis Bacon menanamkan azas metode experimental yang menjadi metode utama dalam filsafat pendidikan Progressivisme. John Locke dengan teori tentang asas kemerdekaan yang menghormati hak asasi (kebebasan politik). Rousseau meyakini kebaikan kodrat manusia yang bisa berbuat baik dan lahir sebagai makhluk yang baik. Immanuel Kant memuliakan martabat manusia dan menjunjung tinggi kepribadion manusia.Hegel peletak asas penyesuai an manusia dengan alam dengan ungkapan "the dynamic,ever—rea djusting processes of nature and society (alam dan masyarakat bersifat dinamis, dalam proses penyesuaian dan perubahan Yang tidak pernah berhenti. Adapun tokoh—tokoh progressivisme di abad XIX dan XX terutama di Amerika Serikat antara lain ; Benjamin Franklin, Thomas Paine dan Thomas Jefferson.
Progressivisme dikaitkan dengan pendidikan modern abad XX dimana rekonstruksi dunia pendidikan telah banyak dilakukan aliran ini melalui inisiatif dan karya nyata. John Deway, tokoh berpengaruh di Amerika Serikat melalui "Sekolah Kerja" yang ia dirikan mempraktekkan pandangan-pandangannya dalam dunia pendidikan mengenai kebebasan dan kemerdekaan, kepada peserta didik yang nantinya akan tercapai tujuan pendidikan dalam pembentukan warganegara yang demokratis. Progressivisme tidak menghendaki mata pelajaran yang diberikan secara tetapi sah, melainkan harus diusahakan terintegrosi dalam unit. Karen, perubahan yang selalu terjadi maka diperlukan fleksibelitas dalam pelaksanaannya dalam arti tidak kaku, tidak menghindar dari perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu, bersifat ingin tahu, toleran serta berpandangan lugs dan terbuka (Indar, 1994).
B. Essensialisme
Aliran Essensialis memandang pendidikan sebagai pemelihara kebudayaan "Education as cultural conservation". Karena itu, aliran ini dianggap sebagai "Conservation road to culture, yakni ingin kembali/ mempertahankan kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan umat manusia.
Aliran filsafat pendidikan Essensialisme dapat ditelusuri dari aliran filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama, karena kebudayaan lama tersebut telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia. Kebudayaan lama telah ada semenjak peradaban umat manusia dahulu, terutama sejak zaman Renaissance mulai tumbuh dan berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali lima pengetahuan, kebudayaan dan kesenian zaman Yunani, dan Romawi Kuno, dengan pemikiran yang essensialis yang dikembangkan para pengikut dan simpatisan ajaran filsafat tersebut, sehingga menjadi satu aliran filsafat pendidikan yang cukup mapan.
Aliran Essensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide idealisme dan realisme. Pertemuan kedua aliran dimaksud bersifat pendukung, dalam arti tidak meleburkan diri, sehingga baik idealisme maupun realisme tidak melepaskan ciri atau identitas musing-musing.
Aliran Essensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang berbeda dengan Progressivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan. Jika Progressivisme memandang pendidikan harus fleksibel, serba terbuka untuk perubahan, tidak terikat pada suatu doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah serta berkembang, maka Essensialisme memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibelitas dalam, segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Oleh karena itu, pendidikan harus di atas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan serta telah terseleksi.
Essensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah kepada keduniawian, serba ilmiah dan materialistik, selain juga dipengaruhi pandangan idealisme dan realisme. Menurut Barnadib (1985) beberapa tokoh yang berperan dalam pengembangan dan penyebaran aliran Essesnsialime, di antaranya adalah :
1. Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup akhir abad XV dan awal abad XVI merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup dan berpijak pada dunia lain. Ia berusaha agar kurikulum sekolah bersifat humanistic dan internasional, sehingga dapat diikuti seluruh lapisan masyarakat menengah dan kaum aristokrat ;
2. Johann Amos Comenius (1592-1670), tokoh Renaissance pertama yang berusaha mensistematiskan proses pengajaran. Ia memiliki pandangan realis yang dogmatic, dan karena dunia ini dinamis serta bertujuan, maka tugas/kewajiban pendidikan adalah membentuk anak sesuai kehendak Tuhan ;
3. Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), yang mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu, ia percaya pada hal-hal yang transendental dan manusia mempunyai hubungan transendental langsung dengan Tuhan ;
4. Johann Friederich Frobel (1782-1852), seorang tokoh transendental yang corak pandangannya bersifat kosmis-sintetis dengan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan dan merupakan bagian dari alam. Oleh itu manusia harus tunduk dan mengikuti ketentuan hukum-hukum alam. Ia berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang berekpresi tinggi dan tugas pendidikan memimpin peserta didik kearah kesadaran diri sendiri yang murni sesuai dengan fitrah kejadiannya ;
5. Johann Fiedrich Herbart (1776-1841), solah seorang murid Immanuel Kant, yang berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak, yang berarti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan, dan inilah yang disebutnya dengan "pengajaran yang mendidik" dalam proses pencapaian tujuan pendidikan ;
Dalam rangka menghadapi persaingan dengan aliran Progressivisme, maka pada tahun 1930 pars tokoh Essensialisme mendirikan organisasi "Essentialist Committee for the Advancement of Education". Melalui organisasi inilah pandangan-pandangan essensialis dikembangkan dalam dunia pendidikan.
Tujuan umum aliran essensialisme membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya ditetapkan berdasarkan kepentingan efektivitas pembinaan kepribadian yang mencakup ilmu pengetahuan yang harus dikuasai dalam kehidupan dan mampu menggerakkan keinginan manusia. Karenanya kurikulum sekolah dianggap semacam miniatur dunia yang dapat dijadikan ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
C.Perennialisme
Aliran Perennialism diambil dari kata perennial, yang diartikan "continuing throughout the whole year" atau "listing for a very long time" abadi atau kekal. Maknanya, Perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma—norma yang bersifat kekal abadi (Zuhaini, dkk.,1995).
Menurut pengamatan Perennialisme bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, sebagai jalan keluarnya, aliran ini menawarkan konsep "regressive road to culture", yaitu kembali atau mundur kepada kebudayaan masa lampau yang masih ideal. Karena itu menurut Perennialisme pendidikan penting dalam proses membawa atau mengembalikan keadaan manusia sekarang kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal serta telah terseleksi dan teruji kehandalannya.
Sikap Perennialisme kembali kepada mass lampau tidak dimaksudkan untuk bernostalgia, sikap mengenang dan membanggakan masa yang penuh kesuksesan, tetapi dalam rangka membina kembali keyakinan yang tangguh kepada nilai-nilai asasi masa silam yang telah teruji dan sangat diperlukan sekarang. Menurut aliran ini, keadaan sekarang sebagai zaman yang ditimpa krisis kebudayaan karena kacau, kebingungan dan kesimpang siuran. Guna mengatasinya, diperlukan usaha untuk menemukan dan mengamankan lingkungan sosio-kultural, intelektual dan moral dan inilah tugas filsafat dan filsafat pendidikan. Jalan yang harus ditempuh dengan cara regresif, yakni kembali kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar tingkah laku pads zaman kuno dan abad pertengahan di bawah supremasi gereja Katholik yang berorientasi pads ajaran/tafsir Thomas Aquinas.
Dibidang pendidikan, Perennialisme dipengaruhi pandangan Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki 3 potensi, yaitu nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi kepada ketiga potensi tadi serta kepada masyarakat, sehingga segala kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah "kebahagiaan". Untuk mencapainya, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang. Sedangkan Thomas Aquinas, pendidikan adalah usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata. Peranan guru adalah mengajar memberi bantuan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.
D. Rekonstruksionalisme
Aliran Rekonstruksinalism dengan tokoh/pelopor utama nya Theodore Bramel pada dasarnya sepaham dengan aliran Perennialisme, yang sama-sama berkeinginan mengatasi krisis kebudayaan dalam kehidupan modern. Namun jalan yang ditempuh berbeda. Jika aliran Perennialisme dengan cara harus kembali kepada nilai dan norma peradaban ideal yang sudah terseleksi dan teruji pada zaman Yunani Kuno dan abad pertengahan, maka aliran Rekonstruksinalisme menawarkan konsep dengan berusaha membina suatu konsensus/kesepakatan yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Menurut Rekonstrusionalisme, untuk mengatasi krisis peradaban modern diperlukan ikhtiar mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungan dan umat manusia. Oleh karena itu, melalui lembaga dan proses pendidikan, Rekonstruksionalisme ingin merombak tata kehidupan lama dan merumuskan tata susunan kehidupan dan budaya yang betul-betul baru di bawah suatu kedaulatan dunia serta pengawasan mayoritas umat manusia.
Guna mewujudkan cita-cita pendidikan dimaksud, menurut Rekonstruksionalisme diperlukan kerjasama semua bangsa-bangsa di dunia. Mereka berkeyakinan bahwa bangsa-bangsa di dunia memiliki keinginan yang sama untuk menciptakan suatu tatanan dunia baru dengan satu kebudayaan baru di bawah kendali dunia dan dalam pengawasan mayoritas umat manusia.
1 komentar:
mas, kalau ada footnote atau referensinya, sangat bagus
Posting Komentar