Al-Qur’an al-karim adalah wahyu ilahi yang diturunkan kepada penutup para nabi, Muhammad ibn Abdullah SAW, baik secara lapaz, makna, maupun gaya bahasa, yang ditulis dalam berbagai mushaf (kitab atau buku lengkap) dan diriwayatkan dirinya secara mutawatir.[1]
Al-Qur’an merupakan sandaran Islam yang senantiasa dinamis dan mukjizat abadi, yang mampu mengalahkan dan senantiasa mengalahkan kekuatan manusia sepanjang sejarah kehidupan sejarah kehidupan umat manusia. Ia merupakan aturan Islam yang mencakup seluruh aspek dasar kehidupan umat manusia yang sesuai dengan fitrah manusia dan bersumber dari kedalaman hati nurani manusia.
Al-Qur’an sendiri memiliki kewibawaan yang tak tertandingi jika dibandingkan dengan kewibawaan umat manusia. Ia sama sekali tidak tunduk terhadap kekuatan yang bathil, dan sebaliknya, mampu menjadikan mereka tunduk dan menerima kepemimpinan al-Qur’an yang adil dan bijaksana. Pada akhirnya, dengan mempelajari al-Qur’an, mereka dapat menerima al-Qur’an dengan rasa cinta, kerinduan, dan kesucian.[2] Menurut penulis al-Qur’an kitab suci satu-satunya yang dibaca orang banyak orang, baik yang mengerti atau yang tidak mengerti akan maknanya, karena dari al-Qur’an terlahir banyak cabang disiplin ilmu yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, maka dengan adanya makalah sederhana ini mudah-mudahan bisa lebih menambah khazanah dan wawasan kita dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Dalam pembuatan makalah ini juga penulis tidak mencantumkan jumlah dan bilangan ayat muhkam serta mutasyabihat menurut pendapat ulama dikarenakan kurangnya referensi yang kami miliki dan juga tidak adanya kesepakatan para ulama dalam menentukan jumlah bilangan ayat muhkam dan mutasyabihat.
A. Pengertian ayat muhkam dan mutasyabihat
Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud dan makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (ma ahkam al-murad bih ‘an al-tabdil wa al-taghyir) adapun mutasyabih adalah ungkapan yang maksud dan maknanya samar (ma khafiya bi nafs al-lafzh).[3]
Sedangkan menurut pengertian terminology, muhkam dan mutasyabih diungkapkan para ulama, seperti: ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara gamblang, baik melalui takwil (metapora) atau tidak.[4] Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah SWT, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf-huruf muqththa’ah.[5]
Muhkam menurut bahasa mempunyai arti yang banyak, seperti kekukuhan, keserupaan, keseksamaan dan keserupaan. Namun, meskipun demikian dapat dikembalikan kepada satu arti saja, yaitu alman’u (pencegahan). Adapun mutasyabihat menurut pengertian bahasa biasanya dipergunakan untuk sesuatu yang menunjukan kepada kesamaan di dalam keserupaan dan keraguan yang pada galibnya membawa kepada kesamaran,[6]
Muhkam ayat yang mengandung penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung pengertian bermacam-macam.[7] Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional, artinya dengan akal manusia saja pengertian ayat itu dapat ditangkap. Tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya bilangan rakaat di dalam sholat lima waktu. Muhkam adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidh dan semua yang wajib di amalkan. Adapun mutasyabih yaitu ayat yang padanya terdapat mansukh, dan qasam serta yang wajib di imani tetapi tidak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang dimaksud.[8]
Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya.[9]
Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah SWT mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat. Pendapat ini di bangsakan Al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.[10]
Al-Qur’an seluruhnya muhkamah, jika yang dimaksud dengan kemuhkamahannya adalah susunan lafal al-Qur’an dan keindahan Nazmnya. Sungguh sangat sempurna tidak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam segi maknanya.[11] Dengan pengertian inilah Allah SWT menurunkan al-Qur’an sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: sebuah kitab yang telah dikokohkan ayat-ayat-Nya (Q.s. Hud: 11:1).
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu” (Q.s Hud [11]:1)[12]
Adapun tafsiran ayat tersebut adalah: Inilah, suatu kitab yang agung tuntunannya dan yang ayat-ayatnya di susun dengan rapi oleh Allah SWT, tanpa campur tangan makhluk, kemudian setelah keistimewaannya yang demikian agung dalam kedudukannya sebagai suatu kitab yang utuh, ia bertambah istimewa lagi karena ayat-ayatnya di jelaskan secara terperinci juga oleh Allah SWT dan oleh Rasul-Nya yang sejak semula diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu kepadamu, wahai Muhammad, kami menurunkannya demikian itu agar kamu semua, wahai manusia dan jin, tidak menyembuhkan selain Allah.[13] Setelah menjelaskan keistimewaan al-Qur’an dijelaskannya fungsi Nabi Muhammad, yang menerima dan menyampaikannya, yakni sesungguhnya aku khusus terhadap kamu semua, wahai manusia dan jin, diutus dari-Nya yakni dari Allah SWT, bukan atas kehendakku adalah pemberi peringatan sempurna bagi yang durhaka dan pembawa kabar gembira yang mencapai puncaknya bagi yang taat.[14] Kita juga dapat mengatakan, bahwa seluruh al-Qur’an adalah mutasyabihat, jika kehendaki dengan kemutasyabihannya, ialah kemutamatsilan I’jaz dan kesulitan kita memperhatikan kelebihan sebagian sukunya atau yang lain.[15] Dengan pengertian inilah Allah AWT menurunkan al-Qur’an seperti yang ditandaskan dengan firman-Nya, (Q.s. Al-Zumar [23]: 39)
Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. (Q.s. Az-Zumar [39]: 23).[16]
Di dalam tafsir Al-Maragi diterangkan mengenai ayat di atas” Allah menurunkan perkataan yang terbaik yaitu Al-Qur’an-karim yang sebagiannya menyerupai sebagian yang lain dalam kebenarannya dan hikmat, juga sebagaimana bagian-bagian dari air dan udara saling menyerupai sesamanya, juga sebagaimana bagian-bagian dari tumbuh-tumbuhan dan bunga saling menyerupai sesamanya. Bagian-bagian dari al-Qur’an itu di ulang-ulang kisah-kisahnya, berita-beritanya, perintah-perintahnya, larangan-larangannya, janji dan ancamannya.[17] Apabila dibaca ayat-ayat azab dari al-Qur’an, maka kulit menjadi gemetar dan hati menjadi takut. Sedang apabila dibaca rahmat dan janji, maka kulit menjadi lunak sedang hati menjadi tenang; jiwa menjadi tentram. As-Sajad berkata: Apabila ayat-ayat disebutkan, maka gemetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Allah SWT. Dengan kitab itulah Allah SWT memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, memberi taufik dan beriman. Dan barang siapa yang di hinakan oleh Allah SWT sehingga ia tidak beriman kepada al-Qur’an dan tidak membenarkannya, maka tak ada orang yang dapat mengeluarkan dia dari kesesatan dan tak ada yang dapat memberi taufik kepadanya untuk menempuh jalan yang benar. Kemudian Allah SWT menyebutkan alasan dari hal tersebut, yaitu perbedaan orang yang mendapatkan petunjuk dan orang yang sesat.[18]
Dalam bukunya Ahmad Von Denffer mengatakan kata ahkam (tunggal, hukum) berasal dari kata hakama, yang berarti memutuskan diantara dua masalah. Apabila kata tersebut dalam bentuk jamak, maka artinya adalah penilaian, keputusan, dan lebih praktis lagi adalah mengambil keputusan dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan hukum yang mengatur, dan juga termasuk menentukan kebenaran dan kekeliruan. Inilah yang disebut ahkam umum. Mutasyabihat (tunggal, mutasyabihat) berasal dari kata syubiha yang artinya meragukan. Dalam verbal noun berbentuk jamak artinya tidak tentu, atau hal yang meragukan. Dalam pengertian praktis, adalah ayat-ayat al-Qur’an yang artinya tidak jelas, atau belum sepenuhnya.[19]
Muhkam menurut bahasa terambil dari ahkamutud debaaah wa ahkamad, artinya melarang. Hukum yaitu pemisah antara dua hal. Hakim melarang orang dzolim dan memisah dua orang yang bermusuhan. Membedakan yang hak dan yang bathil, yang benar dan yang dusta. Mutasyabuh menurut bahasa terambil dari tasyabih, yaitu yang satu diserupakan dengan yang satu lagi. Sabhatu artinya tidak berbeda yang satu dan yang satu lagi.[20]
Pendapat Ragihib Isfahani mengatakan bahwa mutasyabih adalah ayat yang sulit ditafsirkan karena adanya kesamaran dengan yang lain, baik dari sisi lafazh seperti al-yadd, al-‘ayn dan lain-lain.[21] Mutasyabih dari segi makna adalah seperti sifat-sifat Allah SWT dan sifat-sifat hari kiamat, sebab sifat-sifat tersebut tidak bisa kita vaktualisasikan karena tidak tergambar di dalam jiwa dan bukan genus sehingga kita bisa merasakannya.[22]
Pendapat Asham, muhkam adalah ayat yang dalilnya jelas, seperti dalil-dalil tentang keesaan, kekuasaan, dan hikmah sementara mutasyabih adalah ayat yang membutuhkan perenungan dan pemikiran untuk menjelaskannya.[23]
Dari beberapa definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan ayat muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya walaupun tanpa dijelaskan dengan ayat-ayat yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat adalah ayat yang masih memerlukan penjelasan dari ayat yang lain karena masih samar-samar.
B. Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat
1. Madzab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT sendiri. Mereka menyucikan Allah SWT dari pengertian-pengertian lahir yang musahil Qur’an. diantara ulama yang masuk dalam kelompok ini adalah Imam Malik bagi Allah SWT dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an ketika ditanya tentang istiwa; ia menjawab: Istiwa itu maklum, sedangkan caranya diketahui, dan mempelajarinya bid’ah. Aku kira engkau adalah orang yang tidak baik. Keluarkanlah ia dari tempatku.
Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa mazhab salaf ini dianut oleh generasi dan pemuka umat Islam pertama. Mazhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqih. Kepada mazhab ini pulalah, para imam dan pemuka Hadis mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorang pun di antara para teolog dari kalangan kami yang menolak mazhab ini.[24]
2. Mazhab khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat-sifat Allah SWT sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah SWT. Imam Al-Haramain (w.478 H) pada mulanya termasuk mazhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam Ar- Risalah An-Nizamiyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti mazhab salaf sebab mereka yang memperoleh derajat dengan cara tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih. Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibn Daqiq Al-Id mengatakan bahwa apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu di ingkari. Jika dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawqquf (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkannya) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka mensucikan Allah SWT. Namun, bila arti lahir ayat-ayat itu dapat di pahami melalui percakapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawqquf.
Ibn Quthaibah (w.276 H ) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah penakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang di akui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab yang klasik, syarat yang dikemukakan ini lebih longgar dari pada syarat kelompok Azh-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.[25]
C. Hikmah Keberadaaan Ayat Mutasyabih Dalam al- Qur’an
Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an dan ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah sebagai berikut:
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah SWT memberikan cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal merupakan anggota badan paling mulia itu tidak di uji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.[26]
Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah SWT karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.[27] Menurut penulis disini keimanan kita di uji apakah kita percaya atau tidak terhadap ayat-ayat mutasyabih, karena ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang memang masih samar-samar sehingga keimanan kita di uji kembali. Jika seluruh ayat al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka sirnalah ujian keimanan dan amal perbuatan lantaran pengertian ayat-ayat yang jelas dan sebaliknya orang yang tidak tahan uji terhadap cobaan maka mereka akan ingkar terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih.
Sebagai cercaan terhadap orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata” rabbanaa la tuzigh quluubana. [28]Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu laduni. menurut penulis disini Allah memberikan pujian bagi orang yang beriman karena keimanannya dan memberikan petunjuk-Nya. Sementara bagi orang kafir yang suka mengotak-atik ayat-ayat al-Qur’an Allah SWT akan tambah menyesatkan mereka. Adanya ayat muhkam memudahkan manusia mengetahui maksud ayat tersebut dan menghayati untuk diamalkan dalam kehidupan. Disisi lain, adanya mutasyabihat memotivasi manusia untuk senantiasa menggunakan dalil akal di samping dalil naqal.
Allah SWT sengaja menjadikan al-qur’an yang muhkam dan mutasyauh sebagai ajang uji coba atas keimanan hamba-hamba-Nya. Orang yang benar keimanannaya sadr bahwa al-qur’an seluruhnya dari sisi Allah SWT dan segala yang datang dari Allah SWT adalah haq dan tidak tercampur dengan kebathilan atau hal yang bertentangan.
3. Memberikan pemahaman absrak ilmiah kepada manusia melalui pemahaman inderawi yang biasa disaksikannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran inderawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah SWT, sengaja Allah SWT memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, bahwa dirinya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan[29]. Menurut penulis adanya muhkam dan mutasyabihat sebagai bukti kejelasan al-Qur’an yang memiliki mutu tinggi nilai sasteranya, agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk Muhammad SAW, tetapi produk Allah SWT, agar mereka melaksanakan isinya. Kenapa Allah SWT memberikan penggambaran diri-Nya? Hal itu dikarenakan agar manusia dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang Allah SWT. Kita bisa mengambil sebuah contoh dalam al-qur’an di katakana” yadullah fauqa aidihim” yang artinya tangan Allah SWT di atas tangan mereka. Dalam memahami ayat tersebut kita tidak bisa memahami secara tekstual tetapi harus di pahami secara tafsiri, tangan disana kita artikan sebagai kekuasaan, sehingga artinya “ kekuasaan Allah SWT di atas kekuasaan mereka.
KESIMPULAN
Muhkam menurut terminologi artinya suatu ungkapan yang maksud dan makna ungkapan lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Sedangkan mutasyabihat adalah ungkapan yang makna lahirnya masih samar. Seperti yang penulis ungkapan pada pengertian muhkam dan mutasyabihat pada pembahasan bab pertama tadi, artinya penulis sepakat bahwa yang dimaksud dengan muhkam adalah sebuah ayat yang maksudnya sudah dapat dipahami tanpa penafsiran lebih detil, sementara yang dimaksud dengan mutasyabihat adalah ayat yang masih samar-samar dan perlu penjelasan lebih detil supaya dalam memahami ayat lebih mudah.
Adapun pendapat ulama mengenai ayat muhkam tidak ditemukan perbedaan yang sangat mendasar, sementara dalam memahami ayat mutasyabihat para ulama sepakat bahwa dalam memahami ayat tersebut membutuhkan perenungan dan pemikiran untuk menjelaskannya.
Diantara hikmah keberadaan ayat muhkam dan mutasyabihat dalam al-Qur’an, adalah:
a. Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
b. Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih.
c. Memberikan pemahaman abstrak ilmiah kepada manusia melalui pemahaman inderawi yang biasa disaksikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Wahid, Ramli, Ulumul Qur’an, cet III, Jakarta: PT Raja Granfindo Persada, 1996.
Al-Maragi, Mustafa Ahmad, Tafsir Al-Maragi, Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1974.
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, cet II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004.
Ash-Shiddieqy,TM, Hasby, Ilmu-Ilmua al-Qur’an: Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsir al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
Ayatullah M. Bakir Hakim, Ulumul Quran, cet III terjemah oleh Nashirul haq dkk, Jakarta: Al-huda, 1427.
Al-jurjani, At-Ta’rift, Ath –Thaba’ah wa An-Naysr wa At-Tauzi, Jeddah, t.th.
Ahmad, Denffer Von, Ilmu al-Qur’an; An Introduction to The Sciences of The al-Qur’an, terjemah oleh Ahmad Nasir Budiman, Jakarta: Raja wali, 1988.
Chalik, H. Chaerudji Abd, ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Diadit Media, 2007.
Marzuki, Kamaluddin, Ulum al-Qur’an, Bandung: Remaja Rodaskarya,1994.
Quthan, Mana’ul, Mabathist Fii Ulumil Qur’an, terjemah oleh Halimuddin, Jakarta: Rieneke Cipta, 1995.
Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
[1] Ayatullah M. Bakir Hakim, Ulumul Quran, cet III terjemah oleh Nashirul haq dkk, Jakarta: Al-huda, 1427, h.1
[2] Ibid., h. 2.
[3] Al-jurjani, At-Ta’rift, Ath –Thaba’ah wa An-Naysr wa At-Tauzi, Jeddah, t.th, h. 200.
[4] Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, Bandung: Mizan, 1992, h.90.
[5] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’anI, cet II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004, h. 125.
[6] H. A. Chaerurudji Abd, Chalik, ‘Ulum Al-qur’an, Jakarta: Diadit Media, 2007, h. 139.
[7] Kamaluddin Marzuki, Ulum al-qur’an, Bandung: Remaja Rodaskarya, 1994, h. 115
[8] Ibid, h. 116.
[9] H. Ahmad Syadali dan H. Ahmad Ropi’I, Ulumul Qur’an, cet II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, h. 202,
[10] Ramli Abdul Wahid, Ulumul ur’an, cet III, Jakarta: PT Raja Granfindo Persada, 1996, h. 83.
[11] Tengku Muhammad Hasby AS-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-qur’an: Ilmu-ilmu Pokok dam Menafsir Al-qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002, h. 169.
[12] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT Kumudasmoro Grafindo Persada, 1994, h.326.
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan kesan dan keserasian al-qur’an, Jakart: Lentera Hati, 2002, h. 177.
[14] Ibid, h. 178.
[15] Tengku Muhammad Hasby Ash-shiddieqy, of. Cit… h. 169.
[16] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT Tanjung Mas Inti Semarang, 1995, h.749.
[17] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsit Al-Maragi, Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1974, h.297.
[18] Ibid, h.298.
[19] Denffer Von Ahmad, Ilmu Al-qur’an An Introduction To The Sciences of the Al-qur’an, terjemah oleh Ahmad Nasir Budiman, Jakarta: Raja wali, 1988, h.
[20] Mana’ul Qathan, Mabahits fii Ulumul Qur’an, terjemah oleh Halimuddin, Jakarta: Rienike Cipta, 1995, h. 2-3.
[21] M. Baqir Hakim, Ulumul Qur’an,…of. Cit. h.262.
[22] Ibid, h. 263
[23] Ibid, h. 265.
[24] Ibid, h. 265
[25] Ibid, h. 267.
[26] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, op, cit,…h.142.
[28] Ibid, h. 142
4 komentar:
Salam,
Sedikit penambahan/pembetulan, sila lihat penjelasan ayat2 muhkam dan mutasyabih dlm http://kajian-quran.blogspot.com/
wajib kita beriman bahwa seluruh ayat2 Al-Quran samada muhkam atau mutasyabih adalah ayat-ayat yg jelas lagi terang. menjadi kufur sekiranya kita mengatakan bahwa ayat2 mutasyabihat itu ayat2 yg kurang jelas atau samar2 sbb Allah menyatakan ayat2 mutasyabihat adalah ayat2 petunjuk "hudan".
Mana mungkin petunjuk atau hudan itu boleh kabur atau samar-samar sbb hudan itulah yg akan menjadikan umat Islam umat terbaik "khaira ummatin".
Satu pencerahan yg baik, namun terdapat satu kajian mendalam tentang ayat2 muhkamat dan mutasyabihat yg menunjukkan kehebatan Al-Quran menjana ilmu2 baru. Sila lihat http://kajian-quran.blogspot.com/ semoga kalian akan mendapat petunjuk dan rahmah dari Allah SWT.
Artikel yang memberi kejelasan bagi pembacanya, mohon ijin share sebagian, jazaakallaahu khaira.
al qAllah berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ {7} رَبَّنَا لاَتُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ{8}
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang muta-syabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Ali Imran: 7-8 ).
Posting Komentar