A. AL-GHAZALI
1. BIOGRAFI
Nama lengkapnya Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali, digelar Hujjah al-Islam. Ia lahir di Thus, bagian dari kota khurasan, Iran pada 450 H (1056 M), ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya, Al-Ghazali dan saudaranya, Akhmad ketika itu masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan, diperkirakan Al-Ghazali, hidup dalam suasana ke
sederhanaan sufi tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H) Ketika sufi yang mengasuh merasa tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, ia menganjurkan agar mereka dimasukkan ke sekolah untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan santunan kehidupan, antara tahun 460-470 H. Al-Ghazali belajar fiqih dan ilmu dasar yang lain dari Akhmad al-Radzkani di Thus, dan dari Abu Nashr al-isma ili di Jurjan, setelah ia kembali ke Thus. Dan selama tiga tahun ditempat kelahirannya ini ia mengaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar tasawuf kepada Yusuf Al-Nassaj. Pada tahun 473 H. ia pergi ke Narsabur untuk belajar di Madrash Al-Mizamiyah. Disinilah Al-Ghazali berkenalan dengan al-Juwaini sebagai tenaga pengajar. Dari al-Juwaini ia memperoleh ilmu kalam dan mantiq. Setelah gurunya wafat, al-Ghazali meninggalkan Narsabur menuju negeri askar untuk berjumpa dengan Nizham al-Mulk, di daerah ini ia mendapatkan kehormatan untuk berdebat dengan para ulama, dan perdebatan ini dimenangkannya, namanya semakin populer, pada tahun 484 M Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di Madrasah Nizamiyah. Kurang lebih4 tahun.
Pada tahun 488 H al-Ghazali dilanda keragu-raguan skeptis terhadap ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi, filsafat), kegunaan pekerjaannya, dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita sakit selama 2 tahun . Akhirnya ia meninggalkan Bagdad menuju Damaskus selama kira-kira 2 tahun di kota ini ia melakukan uzlah riyadhah, dan mujahadah kemungkinan ia pindah ke Bit-Maqdis, Palestina untuk melaksanakan ibadah haji dan menziarahi makam Rasulullah, sepulang dari tanah suci al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya Thus, disini ia tetap berkhalwat. Keadaan skeptis al-Ghazali berlangsung selama 10 tahun, karena desakan penguasa Saljuk al-Ghazali mengajar kembali pada Madrasah Nizmiyah di Naisabur, tetapi hanya berlangsung selama dua tahun, kemudian ia kembali ke Thus untuk mendirikan Madrasah bagi pra Fuqaha, dan sebuah zawiyah atau khanaqah untuk para mutaswwifin. Di kota inilah ia wafat pada 505 H (111 M).
2. Karyanya
Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, diantaranya adalah:
a. Maqashid al-Falasifah (tujuan-tujuan para filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat.
b. Tahafat al-Falasifah (kekacauan pikiran para filsuf)
c. Mi’yar al-ilm (kriteria ilmu-ilmu).
d. Inya ‘ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama)
e. Al-Munqidz min al-dhalal (penyelamat dari kesesatan)
f. Al-Mu’arif al-aqliah (Pengetahuan yang rasional)
g. Misykat al-Anwar (lampu yang bersinar banyak)
h. Minhaj al-abidin (jalan mengabdikan diri kepada Tuhan)
i. Al-Igtishad fi al-I’tiqat (Moderasi dalam aqidah)
j. Ayyuha al-walad
k. Al-Mustashfa
l. Hjam al-Awwam ‘an ibn al-kalam
m. Mizan al-amal
3. Filsafatnya
a. Epistemologi
Menurut al-Ghazali, lapangan filsafat ada enam yaitu matematika, fisika, politik, etika, dan metafisika. Hubungan lapangan-lapangan filsafat tersebut dengan agama tidak sama, ada yang tidak berlawanan, tetapi ada pula yang bertentangan, al-Ghazali berpendapat bahwa agama, tidak melarang ataupun memerintahkan mempelajari Matematika, karena ilmu ini adalah hasil pembuktian pikiran yang tidak bisa diingkari, sesudah dipahami dan diketahui. Tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua kebenaran, pertama, karena kebenaran dan ketelitian matematika, maka boleh jadi ada orang yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula keadaannya, termasuk dalam bidang ketuhanan, kedua sikap yang timbul dari pemeluk Islam yang bodoh, yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama harus menginginkan semua ilmu yang berasal dari filsuf.
b. Metafisika
Menurut al-Ghazali tidak ada orang Islam yang menganut paham bahwa alam ini tidak bermula, alam haruslah hadits (bermula). Karena itu tidak mengherankan kalam dalam teologi Islam syahadat la ilaha illallah. Bergeser menjadi la qadiima illallah. Jadi paham adanya yang qadim selain dari Tuhan bisa membawa kepada : 1) banyaknya yang qadim, banyaknya Tuhan yaitu paham syirik, sedangkan syirik adalah dosa besar yang tidak diampuni Tuhan atau 2) paham atheisme alam yang qadim tidak perlu pada pencipta. Jelas kedua paham ini bertentangan dengan ajaran dasar dan mutlak dalam Islam.
Menurut al-Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat kalau terjadi perubahan pada tambahan atau sifat tambahan tersebut zat Tuhan tetap dalam keadaannya.
Selanjutnya al-Ghazali menyangkal kalau perubahan ilmu dapat menimbulkan suatu perubahan pada “zat yang mengetahui”. Disamping itu al-Ghazali melandaskan pendapatnya bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iat jelas bertentangan dengan al-Ghazali mengatakan bahwa bentuk dan cara kebangkitan di akhirat secara jasmaniash dan rohaniyah.
Dalam persoalan yang dapat membawa kepada kekafiran al-Ghazali membagi manusia menjadi 3 golongan yaitu:
a) Kaum awam, yang cara berpikirnya sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat sifatnya lekas percaya dan menurut dan golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk.
b) Kaum pilihan, yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah.
c) Kaum penengkar dengan sikap mementahkan argumen-argumen.
c. Moral
Dalam karya-karya awal al-Ghazali, persoalan akhlak belum menjadi masalah pokok, hanya dalam satu karya masa awalnya, mizan al-amal akhlak merupakan bahan pemikiran utama.
Al-Ghazali mempelajari akhlak untuk meningkatkan keadaan jiwa agar kebahagiaan dapat dicapai diakhirat. Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Al-ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih baik daripada kebodohan. Berdasarkan pendapatnya itu dapat dikatakan bahwa akhlak yang dikembangkan al-ghazali bercorak teleologis (ada tujuannya) sebab ia menilai amal dengan mengacu pada akibatnya.
Adapun masalah kebahagiaan. Menurut al-ghazali tujuan manusia adalah kebahagiaan ukhrawi (al-sa’adah al-ukhrawiyyah) yang bisa diperoleh jika persiapan yang perlu untuk itu dilaksanakan dalam hidup ini dengan mengendalikan sifat-sifat manusia dan bukan dengan membuangnya. Kebahagiaan ukhrawi mempunyai 4 ciri khas yaitu : berkelanjutan lupa akhirat, kegembiraan tanpa duka cita, pengetahuan tanpa kebodohan, dan kecukupan (ghina) yang tidak membutuhkan apa-apa lagi guna kepuasan yang sempurna.
d. Jiwa
Manusia menurut al-Ghazali diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus. Jiwa bagi al-Ghazali adalah suatu zat (jauhar) dan bukan suatu keadaan atau aksiden (arah) sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, bukan sebaliknya.
Bagi al-Ghazali jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai potensi kodrati (ashl-al-fithrah) yaitu kecenderungan kepada kebaikan dan enggan kepada kekejian.
Mengenai kekekalan jiwa yang problematik, al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa tetapi ia tidak melakukannya.
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad. Sehingga dengan bantuannya jiwa bisa mendapatkan bekal bagi hidup kekalnya. Jiwa merekapun inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari kekal dan kesempurnaan, karena jasad sangat diperlukan bagi jiwa maka ia harus dirawat baik-baik.
Meskipun jiwa dan jasad merupakan wujud yang berbeda tetapi keduanya saling mempengaruhi dan menentukan jalannya masing-masing. Lebih jauh al-Ghazali menegaskan, karena interaksi inilah jiwa itu diturunkan ke alam benda atau duniawi agar ia dapat menyempurnakan dirinya melalui amal perbuatannya.
B. IBN BAJJAH
1. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Yahya ibn al-Sha’igh al-Tujibi al-Andalusi al-Samqusti ibn Bajjah. Ibn Bajjah dilahirkan di Saragossa , Andalus pada tahun 475 H (1082 M), berasal dari keluarga al-Tujib karena itu dikenal sebagai al-Tujibi yang bekerja sebagai pedagang emas (Bajjah=emas).
Selain sebagai filsuf, Ibn Bajjah dikenal sebagai penyair, komponis, bahkan sewaktu Saragossa berada dibawah kekuasaan Abu Bakar ibn Ibrahim al-Shahrawi (terkenal sebagai Ibn Tifalwit) dari Daulah Al-Murabithum, Ibn Bajjah dipercayakan sebagai wazir.
Ibnu bajjah pernah diangkat sebagai Menteri oleh Abu Bakar Yahya ibn Yusuf ibn Tasifin untuk waktu yang lama. Akhirnya, ia meninggal pada 533 H (1138 M) di Fez , dan dimakamkan disamping makam Ibn Arabi. Menurut satu riwayat, ia meninggal karena diracun oleh seorang dokter bernama Abu al-Ala ibn Zuhri yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu dan ketenarannya.
2. Karyanya
Diantara karya Ibn Bajjah yang terpenting adalah:
a. Risalah al-wada, berisi tentang penggerak pertama bagi wujud manusia, alam, serta beberapa uraian mengenai kedokteran.
b. Risalah Tadbir al-mutawahhid (tingkah laku sang penyendiri)
c. Kitab al-nafs, berisi keterangan mengenai kegemaran Ibn Bajjah.
d. Risalah al-Ittishal al-aql bi al-insan (perhubungan akal dengan manusia), berisi uraian tentang pertemuan manusia dengan akal fa’al.
e. Komentar terhadap logika al-Farabi, sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Escurial (Spanyol).
f. Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles, Al-Farabi, Porphyrius dsb.
g. Kitab an-Nabat
h. Risalah al-Ghayah al-Insaniyyah.
3. Filsafatnya
a. Epistimologi
Dalam bukunya yang terkenal Tadbir al-Muatawahhid, Ibn Bajjah mengemukakan teori al-ittishal, yaitu bahwa manusia mampu berhubungan dan meleburkan diri dengan akal fa’al atas bantuan ilmu dan pertumbuhan kekuatan insniah. Segala keutamaan dan perbuatan-perbuatan budi pekerti mendorong kesanggupan jiwa yang berakal, serta penguasaannya terhadap nafsu hewani. Dengan kata lain, seseorang harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk berhubungan dengan alam yang tinggi, bersama masyarakat atau menyendiri dari masyarakat. Hal ini merupakan pengaruh tasawuf, melebihi dari masyarakat. Hal ini merupakan pengaruh tasawuf, melebihi pengaruh al-Farabi.
Berkaitan dengan teori ittishal tersebut, Ibn Bajjah juga mengajukan satu bentuk epistemology yang berbeda corak yang dikemukakan oleh al-Ghazali di dunia Islam timur.
Ibn Bajjah menetapkan bahwa sesungguhnya perseorangan mampu sampai kepada puncak pengetahuan dan melebar kedalam akal fa’al, bila ia telah bersih dari kerendahan dan keburukan masyarakat.
Pemikiran tentang epistemology ini disebutkan Ibn Bajjah dalam bukunya, tadbir al-Mutawahhid yang berisi delapan pasal.
Pasal pertama, penjelasan mengenai arti kata tadbir.
Pasal kedua, berisi penjelasan tentang perbuatan-perbuatan yang bersifat kemanusiaannya.
Pasal ketiga, yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan menyendiri, yaitu memperoleh urusan yang bersifat pemikiran.
Pasal keempat, pembahagiaan perbuatan manusia kepada tiga macam:
1) Perbuatan yang tujuannya berupa bentuk jasmani
2) Perbuatan yang tujuannya ialah bentuk rohaniah perseorangan
3) Perbuatan yang bertujuan bentuk rohaniah umum
Pasal enam dan pasal tujuh, kembali memperpanjang uraian mengenai bentuk-bentuk rohaniah dan perbuatan-perbuatan yang bertalian dengannya, serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Pasal kedelapan, menjelaskan apa yang dimaksud dengan tujuan akhir.
Metode yang diajukan ibn Bajjah adalah perpaduan perasaan dan akal.
b. Metafisika
Menurut ibn Bajjah bahwa segala yang maujud terbagi dua : bergerak dan tidak bergerak, yang bergerak yang bergerak itu adalah materi yang sifatnya terbatas. Dia bergerak dengan gerakan yang bersifat azali. Gerakan ini tidak mungkin dari zatnya sendiri, karena dia terbatas. Tetapi sebab gerakan berasal dari kekuatan yang tidak terbatas, atau wujud yaitu akal.
Tuhan menganugerahkan kepada manusia rahmat dan kapasitas, melalui hal itu dapat diketahui perbedaan antara manusia. Tetapi, keduanya ada yang merupakan pembawaan sejak lahir dan tidak perlu diupayakan.
Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, Ibn Bajjah menganjurkan untuk melakukan tiga hal, yaitu:
1) Membuat lidah kita selalu mengingat Tuhan dan memuliakannya
2) Membuat organ-organ tubuh kita bertindak sesuai dengan wawasan hati
3) Menghindari segala yang membuat kita lalui mengingat Tuhan atau membuat hati berpaling dari-Nya.
c. Moral
Ibnu Bajjah mengelompokkan perbuatan manusia kepada perbuatan hewani dan perbuatan manusiawi, maksudnya kalau didorong nafsu hewani berarti perbuatan hewani tetapi kalau perbuatannya itu didasarkan akal budi, maka hal itu adalah perbuatan manusia.
Keistimewahan manusia dari makhluk lain adalah daya pikir yang menjadi sumber perbuatannya, semua perbuatan dan tingkah laku yang didasarkan atas akal sehatnya disebut perbuatan ikhtiariah, kalau perbuatan manusia hanya didasarkan atas pikirannya demi kebenaran, maka perbuatannya itu lebih merupakan perbuatan ilahi dan perbuatan manusia.
Watak sejati manusia pada hakikatnya bersifat intelektual, dan sampai taraf-taraf tertentu, bentuk-bentuk yang dibawahnya itu membantu penyempurnaan watak itu, sehingga mereka patut diperhatikan dan dituntut.
Apabila tujuan ini telah tercapai, “Kesendirian” berkemampuan untuk muncul dalam kondisi yang langgeng (permanent) atau imaterialitas yang merupakan karakteristik semua bentuk spiritual, tampaknya Ibn Bajjah telah memasuki dunia tasawuf. Karena lebih lanjut ia menyatakan bahwa kemajuan intelektual dimaksud bukanlah semata-mata atas usaha manusia, tetapi disempurnakan oleh Tuhan dengan memasukkan cahaya kedalam hati orang-orang pilihan-Nya. Karena itu, orang yang diberikan karunia oleh Allah tersebut akan menjadi salah satu cahaya selestial yang mengagung-agungkan Tuhan dan menyanyikan madah pujian bagi-Nya. Dan dengan cara begitu akan bergabung dalam barisan para Nabi dan aulia, syuhada dan orang-orang yang dirahmati.
d. Politik
Ibn Bajjah bermaksud bahwa seorang mutawahhid, sekalipun harus senantiasa berhubungan dengan masyarakat. Dengan kata lain, ia harus berpusat pada dirinya dan merasa selalu bahwa dirinya menjadi contoh ikutan orang, serta sebagai pembuat dan penyusun perundang-undangan bagi masyarakat, bukan malah tenggelam ke dalam masyarakat itu. Jadi, penyendiri dalam konsepsi Ibn Bajjah, lebih ditekankan pada sikap hidup dalam masyarakat, tidak pada tempat tinggal, dan karenanya ia juga berarti “Individu dan Masyarakat”.
Dalam pengertian ini “Mutawahhid” (menyendiri) selalu berada ditengah masyarakat, walau bagaimanapun bobroknya masyarakat tersebut. Mereka mempunyai ciri-ciri berikut :
1) Selalu menjaga kesehatan
2) Selalu makan apa yang diperlukan oleh tubuh
3) Sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup
4) Bergaul dengan orang-orang berilmu dan menjauhi orang-orang yang mementingkan kehidupan duniawi.
5) Mengutamakan ilmu-ilmu teoritis dan meninggalkan ilmu-ilmu praktis.
6) Melakukan amal baik atas kemauan sendiri menurut pertimbangan akal
7) Menjauhkan diri dari kehidupan zuhud.
2 komentar:
Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.
Al-Ghazali pejuang Islam
Posting Komentar