Pada hakikatnya, setiap manusia memerlukan sebuah bentuk kepercayaan kepada kekuatan yang gaib. Dengan kepercayaan hal demikian mereka akan membentuk sebuah budaya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kemudian dijadikan lembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan secara turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena itu tradisi tersebut sangat sulit untuk merubahnya dan kalaupun dapat berubah, itupun memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Salah satu Agama yang sudah membudi daya dan memiliki penganut yang tidak kalah banyak setelah Agama Islam dan Kristen adalah agama Hindu, yang sampai sekarang masih berkembang pesat memasuki seluruh Negara di dunia salah satunya adalah Negara Indonesia yang umat terbanyak menganutnya adalah di wilayah Kota Bali. Namun yang berkembang di Indonesia khususnya di Bali adalah Agama yang mereka menamai dengan “Gama Bali” atau “Gama Tirta” yang kini lebih dikenal dengan “Hindu Dharma”.
Beranjak paparan sedikit mengenai Agama Hindu di atas, di sini penulis akan membahas lebih banyak lagi tentang Agama Hindu, baik yang bersangkutan dengan 1) Asal Usul Agama Hindu, 2) Kitab Suci Agama Hindu, 3) Masuknya Agama Hindu Ke Indonesia dan Bali, 4) upacara kurban dan ucapan salam agama Hindu Dharma, 5) Hari-Hari Besar Agama Hindu Dharma di Indonesia. Ini bertujuan sekedar mengetahui dan dapat membandingkan Agama tersebut dengan Agama lainnya, sehingga diketahui perbedaan dan persamaannya.
A. Asal Usul Agama Hindu
Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma "Kebenaran Abadi"), dan Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran") adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Veda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 milyar jiwa.[1]
Abu Ahmadi dalam bukunya menyebutkan, agama Hindu adalah pencampuran antara kebudayaan kedua bangsa (Aria dan Dravida) kemudian tercipta kebudayaan Hindu dan pelebaran antara kepercayaan kedua bangsa itu kemudian timbul agama Hindu.[2]
B. Kitab Suci Agama Hindu
Kitab suci agama Hindu yang mula-mula adalah Regveda, yang timbul kira-kira tahun 1.500 SM. Veda berarti pengetahuan. Buku-buku veda tidak dibuat atau di karang sekaligus atau sewaktu. Umur-umur buku itu berlainan sama sekali. Karena itu bahasanya berlainan pula.
Regveda merupakan buku yang tertua, terdiri dari 1028 hyn, yaitu syair pujaan. Dibagi dalam 10 mandala (= buku).
Mandala-Mandala itu tidak sama tuanya. Bahasa Regveda terdiri dari campuran bahasa-bahasa daerah, yaitu bahasa Indo-Jerman dan bahasa penduduk yang lebih lama di India. Tiap hyn terdiri dari tiga atau empat baris.
Setelah zaman peralihan yaitu zaman Veda ke zaman Brahma menyusullah buku-buku Veda yang lain, buku-buku itu ialah:
a. Samaveda, berisi nyanyian yang harus dinyanyikan oleh Udgatar (pedanda) waktu menjalankan upacara.
b. Yayurveda, buku ini memuat doa yang diucapkan oleh Advaryu, waktu menjalankan upacara dan dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu:
1. Yayurveda putih, tertua, isinya hanya berisi dari doa berupa puisi dan prosa tidak memakai keterangan.
2. Yayurveda hitam, lebih muda, isinya hanya terdiri dari campuran doa-doa dan keterangan.
c. Atharvaveda, dianggap dari zaman peralihan ke zaman Brahmana. Tetapi waktu terjadinya agak jauh jaraknya dari Samaveda ke Yayurveda, Atharvaveda ini baru mendapat bentuknya yang pasti sesudah mengalami pergolakan perkembangan masyarakat yang agak lama. Veda ini terdiri dari 700 sajak.
Isi Atharvaveda dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
1. Doa-doa bagi menyembuhkan penyakit memerangi raksasa menggunakan mantera, membirahikan dan sebagainya.
2. Nyanyian sakti bagi Brahma. Dalam nyanyian itu diterangkan, bahwa kaum Brahmana menjadi makhluk yang termulia. Barang siapa yang berbuat salah kepadanya, terkutuk. Kepadanya harus diberikan hadiah-hadiah yang mahal-mahal.
3. Ilmu pengetahuan tentang penciptaan manusia dan penciptaan dunia (Cosmogani).
Adapun buku-buku tersebut sebagai tercantum di atas dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Mantera, yaitu teks yang pokok. Isinya yaitu macam-macam nyanyian dan mantera suci yang dinyanyikan oleh para pendeta pada waktu upacara menghidangkan sajian kepada dewa-dewa.
2. Brahmana, yaitu tafsiran terhadap teks asli tersebut.
3. Upanisyad, berasal dari kata “apa – nisyad” artinya duduk dibawah dekat seseorang. Yang dimaksud adalah adat kebiasaan murid yang duduk dibawah dekat gurunya guna mendengarkan belajarnya. Pokok isi buku tersebut yaitu Atmavidia. Artinya ilmu pengetahuan tentang Atman. Atman berarti jiwa segala makhluk. Atman ini maha ada, artinya dimana-mana ada.
C. Asal Usul Agama Hindu Di Indonesia dan Bali
Menurut catatan sejarah agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tahun Masehi, oleh para musafir dari India bernama Maha Resi Agastya, yang di pulau Jawa dikenal dengan sebutan Batara Guru/Dwipayana dan juga musafir dari Tiongkok, bernama Pahyien. Kedua tokoh tersebut mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebarkan Dharma.[3]
Pengaruh agama Hindu berkembang di Jawa Barat sekitar abad ke-5 Masehi, ditandai dengan munculnya kerajaan Taruma Negara dengan rajanya bernama Purnawarman. Bukti-bukti mengenai hal ini dapat diketahui melalui penemuan tujuh buah prasasti pada batu-batu tertulis memakai huruf Pallawa dan berbahasa Sansenkerta. Ketujuh prasasti ini ditemukan di Ciaruteam, Kebon Kopi, Jambu pasir Awi, Muara Ciaten dan Lebak.
Di Jawa Tengah, agama Hindu diperkirakan berkembang sekitar tahun 670 Masehi. Hal ini terbukti dengan ditemukannya batu tertulis di lereng Gunung Merbabu. Prasasti ini memakai huruf Pallawa, sebagian besar hurufnya sudah rusak dan dari yang masih dapat dibaca diperoleh bukti yang menyatakan bahwa pengaruh Hindu yang berkonsepsikan Tri Murti, yaitu pemujaan terhadap Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Perkembangan selanjutnya agama Hindu di Jawa Timur dapat diketahui dari munculnya Mpu Sindok sebagai peletak dasar yang memerintah kerajaan Medang, 929-947 Masehi. Ia bergelar Sri Isyana Tungga Dewi Wijaya, yang berarti raja yang sangat memuliakan pemujaan terhadap Siwa dan berkonsepsikan Tri Murti.
Perkembangan agama Hindu di Jawa mengalami kemunduran, perkembangan agama Hindu kemudian beralih dari Jawa Timur ke Bali, yang diperkirakan terjadi mulai sebelum abad ke-8 hingga abad ke-10 Masehi. Pada masa kemerdekaan, khususnya pada bidang Dharma Negara, perkembangan agama Hindu di Bali mengalami masa yang pelik. Pemerintah rupanya sempat ‘melupakan’ Hindu, karena dalam kementrian agama yang dibentuk setelah kemerdekaan agama Hindu tidak mendapatkan wadah pembinaan. Hal ini berlangsung bertahun-tahun, sampai kemudian muncul tokoh terkenal, I Gusti Bagus Sugriwa (kini telah meninggal dunia). Berkat lobi tokoh ini, agama Hindu dimasukkan dalam kementrian agama, walaupun dengan sebutan “Hindu Bali” (1958).[4]
Sesudah Agama Hindu-Bali mendapat tempat dikementrian agama dibentuklah suatu Dewan Agama Hindu-Bali, yang sesudah kongres tahun 1959 disebut Parisada Dharma Hindu Bali; kemudian pada tahun 1964 namanya diganti dengan Parisada Hindu Dharma hingga sekarang ini, pada tahun 1969 Parisada Hindu Dharma memiliki 11 cabang, yaitu 8 di bali dan 3 di Jawa. Sesudah G-30-S perkembangannya sangat pesat, terebih-lebih di Jawa. Demikianlah agama Hindu Dharma lahir dan berkembang sampai sekarang.[5] Konsep Dharma dalam agama Hindu mencakup segala hal yang dalam bahasa Inggris disebut dengan kata-kata “religion” (agama), “duty” (kewajiban) dan “law” (hukum); yaitu aturan tingkah-laku dalam segala aspek kehidupan.[6]
D. Upacara Dalam Agama Hindu Dharma
Dalam upacara pemujaan dewa-dewa Hindu Dharma terdapat beberapa macam Yajnya (kurban). Yajnya dimaksud adalah “Butta Yatnya” yaitu kurban-kurban kepada makhluk halus/dewa penjaga alam. Butta Yajnya tersebut dilakukan dalam 3 macam bentuk upacara kurban:
1. Tawur Agung yaitu kurban yang dilaksanakan dalam satu tahun sekali.
2. Tawur Panca Wali Krama yaitu upacara kurban yang dilakukan tiap 10 tahun sekali
3. Tawur Eka Dasa Rudra, upacara kurban yang dilakukan setiap 100 tahun sekali, dan ini merupakan upacara yang paling utama karena upacara ini merupakan usaha mencari keselamatan hidup di samping pengakuan dosa-dosa manusia selama 100 tahun. (Tawur artinya pembayaran, Agung artinya besar-besaran, Eka Dasa artinya seratus dan Rudra adalah makhluk halus penjaga mata angin/alam).[7]
Dengan dinyatakannya di dalam Atharwa Weda, bahwa Yajnya merupakan bagian dari dharma sehingga merupakan unsur ajaran keimanan yang penting, maka menyebabkan ajaran Yajnya bukan sekedar ajaran formalitis, melainkan masalah ibadah yang hukumnya adalah wajib.[8]
Adapun upacara yang bersifat perorangan ialah upacara ngaben, yaitu upacara pembakaran jenazah. Upacara ini dilakukan sesuai dengan kemampuan keluarga sipeninggal, kadang-kadang dilakukan dengan biaya besar, sedang dan kecil. Upacara ini dilakukan untuk membersihkan roh yang meninggal.[9]
E. Salam Hindu Dharma
Untuk membina hubungan yang harmonis dan mempererat persaudaraan dalam pergaulan di masyarakat, agama Hindu Dharma mengajarkan salam persaudaraan dengan ucapan “Om Swastyastu”. Salam ini dapat juga digunakan dalam memulai dan mengakhiri suatu kegiatan. Khusus dalam mengakhiri suatu kegiatan dapat juga memakai “Om Santi, Santi, Santi, Om”, yang artinya semoga damai. “Om” yang berasal dari “A” simbol Brahma; “U” adalah symbol Wisnu dan “M” adalah symbol Syiwa. Lalu diucapkan AUM atau OM.
Pada waktu mengucapkan salam, kedua tangan dicakupkan di depan dada dengan ujung jadi mengarah ke atas, tetapi kalau keadaan tidak memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan. Yang menerima salam seyogyanya menjawab dengan ucapan Om Swastyastu dengan sikap yang sama pula.
Om: Tuhan, Su: baik, Asti: ada, dan Astu: semoga. Jadi Om Swastyastu artinya “Semoga selamat atas Tuhan Yang Maha Esa”. Dengan demikian pada setip kegiatan telah dilaksanakan saling do’a mendo’akan antara satu dengan yang lainnya.[10]
F. Hari-Hari Besar Umat Hindu Dharma
Dalam agama Hindu Dharma ditemui hari-hari besar/hari raya diantaranya:
1. Hari raya Galungan
Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa kuno, yang artinya “menang atau bertarung”. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan yang juga berarti menang.
Inti upacara Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu adalah wujud adharma. Dengan kata lain hakekat Galungan adalah memenangkan dharma melawan adharma.
2. Hari raya Saraswati
Merayakan hari raya ini dianggap penting oleh umat Hindu. Menurut legenda Saraswati adalah Dewi/istri Brahma. Saraswati adalah Dewi pelindung/pelimpah pengetahuan, kesadaran, berkat anugerah dewi Saraswati manusia menjadi beradab dan berkebudayaan.
Peringatan hari raya ini menurut beberapa kepustakaan Hindu adalah dalam rangka mengingat kembali ajaran-ajaran agama dan kesusilaan. Setelah Saraswati puja selesai, biasanya dilakukan semedi ditempat yang suci dimalam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan untuk menemukan pencerahan Ida Hyang Saraswati. Besok harinya dilaksanakan Banyu Pinaruh (pagi buta berkeramas dengan air kumkuman).
3. Hari raya Nyepi
Hari raya Nyepi dirayakan setiap tahun baru Saka. Tujuan utama perayaan ini adalah memohon kehadapan Tuhan untuk mensucikan alam manusia dan alam semesta. Ada empat pantangan yang wajib diikuti setipa hari raya Nyepi (Catur Berata Penyepian):
a. Amati Geni (mematikan api kosmos untuk menghidupkan api spiritual yang ada dalam diri).
b. Amati Karya (menghentikan kegiatan kerja dan mencari makna dan hakekat kerja yang sesungguhnya).
c. Amati Lelanguan (tidak bersuka ria agar menemukan kesadaran akan kenikmatan semu yang selama ini dinikmati).
d. Amati Lenguan (tidak mengikuti keinginan untuk bepergian).
Pada saat pelaksanaan Catur Berata itu pula dilakukan Mulat Sari, renungan mendalam “mengaca diri” untuk membuka tabir kegelapan agar memperoleh pengetahuan sejati dan kesadaran diri akan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kesenyapan hari Nyepi, diharapkan umatnya mengadakan mawas diri, menyatukan pikiran, menyatukan cipta, rasa, dan karsa, menuju penemuan hakekat keberadaaan diri dan inti sari kehidupan semesta.
Keesokan harinya yaitu hari raya Ngembak Geni, segenap isi rumah keluar pekarangan dan bermaaf-maafan dengan tetangga dan handai tolan yang ditemui, dalam suasana batin yang bersih dan dipenuhi kebijaksaan.
4. Hari raya Kuningan
Hari raya Kuningan adalah hari raya yang dirayakan oleh umat Hindu Dharma. Perayaan ini jatuh pada hari Saniscara (Sabtu), Kliwon, Wuku Kuningan. Hari raya ini dilaksanakan setiap 210 hari, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali.
Sabtu, hari ketujuh dalam satu pekan. Konon kata sabtu diambil dari bahasa Ibrani (Sabbat), yang berarti berhenti, (minggu-senin-selasa-rabu-kamis-jum’at-sabtu). Perayaan hari raya ini, intinya meminta perlindungan kepada Batara Indera.[11]
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu
[2] Abu Ahmadi, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h.101
[3]Jirhanuddin, Bahan Ajaran Mata Kuliah “Ilmu Perbandingan Agama”, STAIN Palangka Raya, 2008, h. 56.
[4]Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama (Sebuah Pengantar), Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000, h.38-4.
[5]http://faridfann.wordpress.com/2008/05/07/sejarah-agama-hindu-dharma-hindu-bali (Online 21:00, Selasa, 6 Juli 2010).
[6]Donald Eugene Smith, Agama dan Modernisasi Politik Suatu Kajian Analitis, diterjemahkan oleh: Machnun Husein, Jakarta: CV Rajawali, 1985, h. 52.
[7]Jirhanuddin, Bahan Ajaran Mata Kuliah “Ilmu Perbandingan Agama”, h. 58.
[8]Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama, h. 55.
[9]Jirhanuddin, Bahan Ajaran Mata Kuliah “Ilmu Perbandingan Agama”, h. 58.
0 komentar:
Posting Komentar