Manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah baik dalam hubungan dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia itu sendiri. Ibadah yang dilakukan hanya untuk mendapat ridho dari Allah SWT dengan niat yang ikhlas. Tentunya akan mendapat pahala dan kebaikan. Namun apabila suatu ibadah atau amal yang dilakukan tidak semata-mata hanya Allah SWT, maka ibadahnya atau amalannya akan batal dan amalnya akan sia-sia. Pentingnya ikhlas dalam beramal akan menumbuhkan sifat akhlakul karimah dan mendapat derajat disisi Allah yang tinggi.
Kalau dalam kehidupan kita beramal bukan hanya untuk Allah itu akan menimbulkan sifat-sifat lain yang tentunya merugikan. Misalnya saja riya atau dikemukakan oleh nabi dengan syirik kecil. Sifat ini sangat membahayakan dan tumbuh dalam hati manusia. Sifat ini membahayakan karena sifatnya akan merusak segala amalan yang kita lakukan dan bahkan justru akan mendapatkan dosa dan kerugian. Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk mengemukakan sebuah permasalahan yang berkaitan dengan masalah Ikhlas beramal. Mudah-mudahan dalam penulis menyajikan makalah ini dapat memberikan sedikit pengetahuan kepada kita dan menjadikannya pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari baik bagi diri sendiri, orang lain maupun terhadap Allah SWT.
IKHLAS BERAMAL
A. NIAT/MOTIVASI BERAMAL (RS: 1)
1. Terjemahan Hadits
"Amir Al-Mu’min, Abu Hafs Umar bin Al-Khaththab r a., bin Nufail, bin Abdul Uzza, bin Riyah,. bin Abdullah bin Qurt bin Rajah, bin`Adiy, Ka'ab bin Luay, bin Galib keturunan Quraisy,41-A dawy, dia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah SAW. telah bersabda, "Sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal, bergantung pada niatnya. Dan yang dianggap bagi amal tiap orang apa yang ia niatkan. Maka barang siapa berhijrah. (mengungsi dari daerah kafy ke daerah Islam) semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah, maka hijrah itu diterima oleh Allah dan Rasulullah, dan barang siapa yang hijrah karena keuntungan dunia yang dikejarnya, atau karena perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya berhenti pada apa yang ia niat akan hijrah kepadanya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Penjelasan Hadits
Rasulullah mengeluarkan hadis di atas (asbab al-wurud) nya ialah untuk menjawab) pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan peristiwa hijrahnya, Rasulullah SAW. dari Mekah ke Madinah, yang diikuti oleh sebagian besar sahabat. Dalam hijrah itu ada salah seorang laki-1aki yang turut juga hijrah. Akan tetapi, niatnya bukan untuk kepentingan perjuangan Islam, melainkan hendak menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Wanita itu rupanya sudah bertekad akan turut hijrah, sedangkan laki-laki tersebut pada mulanya memilih tinggal di Mekah. Ummu Qais hanya bersedia dikawini di tempat tujuan hijrahnya Raulullah SAW. Yakni Madinah, sehingga laki-laki itupun ikut hijrah ke Madinah.
Ketika peristiwa itu ditanyakan kepada Rasulullah SAW., apakahhijrah dengan motif itu diterima (maqbul) atau tidak, Rasulullah SAW. menjawab secara umum seperti disebutkan pada hadis di atas. Berkenaan dengan niat, sebagian ulama mendefinisikan niat menurut syara', sebagai berikut:,
Artinya:
"Niat adalah menyengajakan untuk berbuat sesuatu disertai (berborengan) dengan perbuatannya.
Ada juga yang mendefinisikan dengan:
Artinya :
“Keinginan yang ditujukan untuk mengerjakan suatu perbuatan sambil mengharapkan rida Allah SWT dan menjalankan hukum-Nya.”
Disepakati bahwa tempat niat adalah dalam hati dan dilakukan pada permulaan melakukan perbuatan untuk tujuan aural kebaikan. Tentu saja perbuatan yang dilakukannya bukan yang dilarang syara'.
Niat berperan penting dalam ajaran Islam, khususnya dalam perbuatan yang berdasarkan perintah syara', atau menurut sebagian ulama, dalam perbuatan yang mengandung harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah-SWT. Niat akan menentukan nilai, kualitas, serta hasilnya, yakni pahala yang akan diperolehnya.
Orang yang berhijrah dengan niat ingin mendapat keuntungan dunia atau ingin mengawini seorang wanita, la tidak akan mendapatkan. pahala dari Allah SWT. Sebaliknya kalau seseorang hijrah karena ingin, mendapat rida Allah SWT., maka ia akan mendapatkannya, bahkan keuntungan dunia pun akan diraihnya.
Sebenarnya, hijrah yang dimaksud pada hadis di atas adalah berhijrah dari Mekah ke Madinah karena saat itu penduduk Mekah tidak merespon da'wah Nabi, bahkan mereka ingin mencelakai Nabi dan umat Islam. Akan tetapi, setelah Islam kuat, hijrah di atas lebih tepat dia diartikan berpindah dari kemunkaran atau kebatilan kepada hak. Namun demikian, niat tetap saja sangat berperan dalam menentukan berpahala atau tidaknya setiap hijrah apapun bentuknya.
Para ulama telah sepakat bahwa niat sangat penting dalam menentukan sahnya suatu ibadah. Niat termasuk rukun pertama dalam setiap melakukan ibadah. Tidaklah sah suatu ibadah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain, bila dilakukan tanpa niat atau dengan niat yang salah.
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Niat atau motivasi itu bertempat di dalam hati. Siapapun tidak akan mengetahui motivasi apa yang ada dalam hati seseorang ketika ia mengerjakan sesuatu, kecuali dirinya dan Allah saja. Dengan demikian, Allah SWT. mengetahui siapa di antara hamba-hamba-Nya yang memiliki motivasi baik ketika ia beribadah atau sebaliknya.
Allah SWT. berfirman:
Artinya : “Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". (QS. Ali-Imran: 29)
Dengan demikian, seseorang yang melakukan suatu amal dengan baik menurut pandangan manusia, tetapi motivasinya salah atau tidak ikhlas, hal itu akan sia-sia karena Allah tidak akan melihat bentuk zahirnya, tetapi melihat niat yang ada dalam hatinya.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra., is berkata, Rasulullah SAW. bersabda, 'Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi melihat (memperhatikan niat dan keikhlasan dalam) hatimu”. (H.R. Muslim)
Dengan demikian orang yang tidak ikhlas dalam melakukan perintah Allah SWT., misalnya untuk mendapatkan keuntungan dunia semata, Allah akan memberikan balasannya di dunia, tetapi Dia tidak akan memberikan apa-apa kelak di akhirat, sebagaimana firman-Nya:
Artinya :
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan Sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang Telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang Telah mereka kerjakan”. (QS. Huud: 15-16)
Jadi, tidaklah heran jika seseorang yang ketika hidup di dunia sudah melakukan amal kebaikan, namun di akhirat tidak menemukan apa-apa karena perbuatan tersebut tidaklah secara ikhlas sehingga amalnya bagaikan debu yang bertebaran. Bagaimanapun Allah SWT, mengetahui segala sesuatu yang ada dalam hari seseorang, dan tidak akan menerima begitu saja amal setiap sebelum melihat motivasi sebenarnya. Allah SWT berfirman:
Artinya :
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Gambaran orang yang beramal dengan niat ikhlas atau sebaliknya digambarkan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 265-266:
Artinya :
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya Karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat. Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, Kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya”. (Q. Al-Baqarah : 265-266)
B. MENJAUHKAN PERBUATAN RIYA/SYIRIK KECIL (BM: 1512)
1. Terjemahan Hadits
“Dari Mahmud bin Lubaid bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesuatu yang paling aku khawatirkan di antara kamu adalah syirik kecil, yaitu riya.” (H.R. Ahmad dengan sanad Hasan)
2. Penjelasan Singkat
Riya artinya usaha dalam melaksanakan ibadah bukan niat menjalankan kewajiban dan menunaikan perintah Allah SWT, melainkan bertujuan untuk dilihat orang, baik untuk kemaslahatan, mendapat pujian, atau harapan-harapan lainnya dari selain Allah.
Sebagaimana telah disinggung dalam bahasan niat, orang yang beribadah dengan riya tidak akan mendapat pahala dari Allah SWT. Hal itu karena dalam ibadahnya tidak lagi murni karena Allah melainkan karena makhluk-Nya. Tak heran kalau riya sebagaimana bunyi hadis di atas dikategorikan sebagai syirik kecil. Artinya dia mempercayai Allah SWT. sebagai Tuhannya, tetapi pengabdiannya tidak utuh kepada-Nya, melainkan kepada makhluk-Nya.
Dengan kata lain, hakikat aural mereka adalah penipuan belaka. Mereka melakukan ibadah bukan karena menjalankan perintah-Nya. apalagi demi mengharapkan rida-Nya, melainkan untuk mendapatkan, pujian dari manusia, dan itulah di antara perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang munafik.
Allah SWT berfirman :
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142)
Lebih jelas tentang keadaan orang-orang yang riya’ diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Artinya
“Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "Sesungguhnya manusia yang pertama kali, diadili di hari kianiat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah, maka ia didatangkan dan diperlihatkan nikmat-nikmat (sebagai pahalanya), kemudian ia melihatnya seraya dikatakan (kepadanya), " Amalan apakah yang engkau lakukan sehingga memperoleh nikmat-nikmat itu? " la menjawab, "Aku berperang karena-Mu (Ya Allah), sehingga mati aku mati syahid. " Allah menjawab, "Dusta engkau, sesungguhnya kamu berbuat (yang demikian itu)) supaya kamu dikatakan sebagai pahlawan. Dan kemudian (malaikat) diperintahkan kepadanya lalu menyeret mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka; Seseorang yang diberi oleh Allah SWT bermacam-macam harta benda, kemudian ia didatangkan dan memperlihatkan nikmat itu (sebagai pahalanya) lalu. ia melihatnya seraya dikatakan (kepadanya), "Amal apakah yang engkau lakukan sehingga memperoleh nikmat itu? " la menjawab, "Aku tidak pernah meninggalkan infak dari jalan yang Engkau ridai (ya Allah), melainkan aku. berinfak hanya karena-Mu. " Lalu Allah SWT menjawab, "Dusta engkau, sesungguhnya kamu berbuat (yang demikian itu) supaya kamu dikatakan sebagai orang dermawan, kemudian (malaikat) diperintahkan untuk menyeret mukanya dan memparkannya ke dalam neraka: dan seorang lagi menuntut ilmu dan mengajarkan atau membaca Al-Qur’an, maka ia didatangkan dan diperlihatkan nikmat-nikmat itu (sebagai pahalanya) lalu ia melihatnya seraya dikatakan (kepadanya), "Amal apakah yang engkau lakukan sehingga memperoleh nikmat itu? la menjawab., "Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, dan membaca Al-Quran (hanya) untuk-Mu (ya Allah). Kemudian Allah SWT menjawab, "Dusta engkau sesungguhnya engkau menuntut ilmu supaya. dikatakan engkau pintar dan engkau membaca (Al-Quran) itu supaya dikatakan sebagai Qari," kemudian (malaikat) diperintahkan untuk menyeret mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. (HR. Muslim)
Dalam al-Qur'an, banyak ayat yang menerangkan kerugian bagi orang-orang yang suka riya dalam beramal. Bahkan, dengan tegas dinyatakan bahwa orang yang riya akan celaka walaupun ia rajin beribadah.
Allah SWT berfirman :
Artinya :
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Maun: 4-7)
Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi dalam kitabnya Tanbih Al-Ghafilin berpendapat bahwa seseorang yang melakukan amal ibadah karena riya semata disebut munafik asli, yakni munafik sempurna, yang disebutkan dalam ayat:
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 145)
Kesimpulan
Niat adalah dalam hati dan dilakukan pada permulaan melakukan perbuatan untuk tujuan aural kebaikan. Tentu saja perbuatan yang dilakukannya bukan yang dilarang syara'. Niat dalam arti motivasi, juga sangat menentukan diterima atau tidaknya suatu amal oleh Allah SWT. Shalat umpamanya, yang dianggap sah menurut pandangan syara' karena memenuhi berbagai syarat dan rukunnya, belum tentu diterima dan berpahala kalau motivasinya bukan karena Allah.
Riya artinya usaha dalam melaksanakan ibadah bukan niat menjalankan kewajiban dan menunaikan perintah Allah SWT, melainkan bertujuan untuk dilihat orang, baik untuk kemaslahatan, mendapat pujian, atau harapan-harapan lainnya dari selain Allah. Riya tidak akan mendapat pahala dari Allah SWT. Hal itu karena dalam ibadahnya tidak lagi murni karena Allah melainkan karena makhluk-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar