Pendidikan merupakan masalah yang penting bagi setiap bangsa yang sedang membangun. Upaya perbaikan di bidang pendidikan merupakan suatu keharusan untuk selalu dilaksanakan agar suatu bangsa dapat maju dan berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa upaya dilaksanakan antara lain penyempurnaan kurikulum, peningkatan kompetensi guru melalui penataran-penataran, perbaikan sarana-sarana pendidikan, dan lain-lain. Hal ini dilaksanakan untuk meningkatkan mutu pendidikan bangsa dan terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas dan bermoral.
Pendidikan merupakan upaya memperlakukan manusia untuk mencapai tujuan, perlakuan itu akan manusiawi apabila mempertimbangkan kapasitas dan potensi-potensi yang dimiliki manusia.
A. Guru yang Demokratis
Peran guru sebagai pemimpin dalam proses belajar mengajar adalah fasilitator belajar kelompok. Guru memberikan bimbingan kepada siswa dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Bahkan siswa diberikan kesempatan memberikan koreksi terhadap guru dan gagasan murid sangat diperhatikan untuk menciptakan hubungan timbal balik yang harmonis. Dalam gaya kepemimpinan guru seperti ini akan muncul sikap bersahabat, terbuka, kreatif dan kerjasama.
Guru sebagai pemimpin dalam proses pengajaran, berperan dalam mempengaruhi atau memotivasi siswa agar mau melakukan yang diharapkan sehingga pekerjaan guru dalam mengajar menjadi mudah dan lancar, murid mudah paham dan menguasai materi pelajaran sehingga tercapai tujuan pengajaran.[1]
Pembelajaran yang demokratis adalah pembelajaran yang di dalamnya terdapat interaksi dua arah antara guru dan siswa. Guru memberikan bahan pembelajaran dengan selalu memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberikan reaksi, siswa bisa bertanya maupun memberi tanggapan kritis tanpa ada perasaan takut. Bahkan, kalau perlu siswa diperbolehkan menyanggah informasi atau pendapat guru jika memang dia mempunyai informasi atau pelajaran, pendapat guru, dan pengalaman siswa sendiri.[2]
B. Tipe Guru yang Demokratis
Guru yang bersikap demokratis memiliki tipe sebagai berikut :
1. Memiliki hati nurani yang tajam, dan berusaha mengajar dengan hati dengan wawasan yang dimilikinya;
2. Berusaha memberi ketenangan hati dan tanpa lelah memotivasi peserta didik;
3. Memberi ruang kepada peserta didik untuk memaksimalkan berkembangnya potensi positif pada dirinya. Figur guru seperti ini akan selalu dikenang oleh peserta didik sepanjang masa.
C. Hal-hal yang Harus dimiliki Bila Ingin Menjadi Seorang Guru yang Demokratis
a. Milikilah beragam kecerdasan. Milikilah kecerdasan emosional yang baik, milikilah kecerdasan spiritual yang baik, milikilah kecerdasan interpersonal dan intrapersonal yang baik. Kecerdasan sangat membantu guru tampil dengan bijaksana. Langkah-langkah agar guru memiliki kecerdasan yaitu melalui kegiatan reflektif, membaca buku untuk meningkatkan percaya diri, pelatihan dan meningkatkan iman serta takwa kepada Tuhan;
b. Jadilah guru biofili. Guru biofili ketika mengajar dan melakukan tindakan dalam pola tingkah laku selalu mengedepankan nilai-nilai dan jiwa yang hidup, dengan cinta dan kasih sayang. Guru biofili berkarakter guru yang memiliki jiwa yang selalu hidup berdasarkan nilai-nilai universitalitas kehidupan. Dia tidak menganggap murid bodoh, nakal, dan stereotipe negatif terhadap muridnya, tapi dia percaya muridnya adalah anugerah, apa adanya;
c. Jadilah guru yang mendidik dengan hati. Terdapat enam belas pilar pendidikan dengan hati berikut, yaitu kasih sayang, penghargaan, pemberian ruang untuk mengembangkan diri, kepercayaan, kerjasama, saling berbagi, memotivasi, mendengarkan, berinteraksi secara positif, menanamkan nilai-nilai moral, mengingatkan dengan ketulusan hati, menularkan antusiasme, menjadi potensi diri, mengajar dengan kerendahan hati, menginspirasi, dan menghormati;
d. Jadilah fasilitator dan mediator. Paul Suparno (2003) menyebutkan bahwa guru demokratis lebih membantu siswa agar siswa aktif belajar dan menemukan pengetahuan mereka. Guru merangsang siswa belajar, mendukung, memberikan motivasi, memantau dan mengevaluasi yang ditemukan siswanya. Guru demokratis akan bahagia bila siswa aktif, mempunyai macam-macam kreativitas, siswa mempunyai gagasan brilian yang mungkin saja berbeda dengan gagasan guru. Nilai bukan monopoli guru, kebenaran bukan monopoli guru, tetapi milik bersama, hasil pencarian bersama secara rasional.
e. Ajarkan murid berpikir kritis. Bantulah murid untuk berpikir kritis, memang menghapal pada tahap awal memang baik, tapi guru harus menekankan pada berpikir. Guru membantu murid lebih berpikir sendiri dan bukan hanya membebek dengan apa yang dikatakan guru.[3]
Raths et al (1986) dalam Paul Suparno menjelaskan bahwa langkah awal menjadi guru yang mengajarkan murid kritis adalah mendengarkan gagasan dan pemikiran murid, menerima ide dan gagasan siswa termasuk yang dianggap aneh dan tidak tepat. Tugas selanjutnya, murid yang lain mengkritisi ide tersebut, guru harus mampu memupuk keyakinan bagi dirinya agar dapat menjadi GURU bagi muridnya. Terakhir guru memberikan feedback yang memajukan pemikiran siswa, bukan mematikan ide dan gagasannya.[4]
Sehingga anak didik nantinya dapat berkembang menjadi pribadi dan warga yang lebih demokratis (Suparno, 2004).[5]
Dengan pendekatan pembelajaran yang lebih demokratis cukup mendesak untuk diimplementasikan di kelas, setidaknya berdasarkan tiga alasan.
1. Kenyataan bahwa guru bukan satu-satunya sumber belajar. Dalam era globalisasi informasi sekarang, tidak bisa dimungkiri, akses terhadap berbagai sumber informasi menjadi begitu luas; televisi, radio, buku, koran, majalah, dan internet. Saat berada di kelas, siswa telah memiliki seperangkat pengalaman, pengetahuan, dan informasi. Semua ini bisa sesuai dengan bahan pelajaran, bisa juga bertentangan. Pembelajaran yang demokratis memungkinkan terjadinya proses dialog yang berujung pada pencapaian tujuan intrusional yang ditetapkan. Tanpa demokrasi di kelas guru akan menjadi penguasa tunggal yang tidak dapat diganggu gugat. Siswa terkekang, dan akhirnya potensi kreativitasnya terbunuh.
2. Kompleksnya kehidupan yang bakal dihadapi siswa setelah lulus. Masa depan menuntut mereka mampu menyesuaikan diri. Prinsip belajar yang relevan adalah belajar bagaimana belajar (learning how to learn). Artinya, di kelas target pembelajaran bukan sekedar penguasaan materi, melainkan siswa harus belajar juga bagaimana belajar (secara mandiri) untuk hal-hal lain. Ini bisa terjadi apabila dalam kegiatan pembelajaran siswa telah dibiasakan untuk berpikir mandiri, berani berpendapat, dan berani bereksperimen.[6]
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan pembelajaran yang demokratis di kelas itu sangatlah perlu.
Guru memang harus berwibawa baik secara akademik maupun moral, serta guru harus bisa menjadi fasilitator dan motivator sehingga siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kreativitasnya. Guru harus mendorong siswa menyampaikan gagasannya dan menghargainya.
Apapun pendapat siswa guru harus bisa memberikan apresiasi secara positif terhadap siswa diharapkan berangsur-angsur siswa terbiasa berpikir akatif dan berani mengemukakan pendapatnya di kelas.
[3] http://goeswarno.blogspot.com/2011/01/antara-guru-otoriter-dan-guru 28.html. (online tanggal 3 maret 2011)
[4]Phttp://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=12702enulis, Kepala SMP Santo Fransiskus Assisi Pontianak. (online tanggal 3 maret 2011)
1 komentar:
Makasih atas jawaban ny
Posting Komentar